Renungan Pendidikan

Oleh Ustadz Harry Santosa.

Tahun 1980an, dunia demam “Genius Baby”, pasalnya dunia digemparkan dengan sebuah asumsi yang nampak keren dan kompetitif, padahal belum bisa dibenarkan secara ilmiah, yaitu adanya Golden Age, masa masa emas di usia lima tahun pertama kehidupan manusia.

Maka berbondong2lah para orangtua di dunia, termasuk kaum Muslimin mengaminkan dengan menggegas bayinya. Buku buku, mainan mainan bayi yang dianggap menggenjot kecerdasan otak, laku keras di pasaran, seolah tidak mau tertinggal dalam pacuan mencetak bayi jenius.

Alat alat penggegas seperti Flashcard, Puzzle, buku Glen Doman semisal “mengajarkan bayi anda membaca”, “mengajarkan bayi anda matematika” laku keras di pasaran, termasuk program dan workshop orangtua untuk melahirkan bayi jenius.

Asumsi tanpa sandaran ilmiah ini, dan tanpa landasan syariah ini begitu diimani, padahal disandarkan pada pandangan Darwinist Materialist yang memberhalakan keunggulan ras manusia lewat materi otak, bahwa ada kaitan antara volume otak dan kecerdasan.

Asumsi ini dengan gegabah berani menyatakan bahwa selama masa lima tahun pertama otak bayi dipenuhi oleh sambungan sambungan atau synapsis yang apabila tidak “segera diisi” atau “dijejali” maka akan meluruh terbuang percuma.

Tak pelak lagi para orangtua di barat di timur termasuk kebanyakan kaum Muslimin mengekor sampai masuk ke lubang landak sekalipun.

Tahun 90an, penelitian penelitian terbaru membuktikan bahwa Sinapsis atau sambungan syaraf yang diduga meluruh dan tidak tumbuh selamanya lagi setelah usia lima tahun, ternyata tumbuh kembali pada usia setelah lima tahun. Meluruh kembali dan tumbuh kembali pada tiap tahap.

Ditemukan juga anak2 yang dipaksa menghafal nama2 ratusan pesawat dan gambar2nya ketika berusia 8 bulan, ternyata sama sekali tidak mengingatnya ketika berusia 8 tahun. Anak yang sejak bayi usia 8 bulan diajarkan membaca, tidak banyak bedanya dengan anak anak yang baru belajar membaca di usia 8 tahun.

Sesungguhnya dalam Islam, setiap tahap pertumbuhan manusia adalah masa emas semuanya, sepanjang benar dan tepat aspek fitrah mana yang tumbuh sesuai dengan tahap usianya itu. Kita saksikan para Sahabat Nabi bahkan Nabi SAW sendiri cemerlang pada tiap tahap usianya.

Golden Age pada usia 0-6 tahun tentu berbeda dengan golden age pada usia 7-14 tahun, juga berbeda pada tahap tahap usia selanjutnya. Bahkan Rasulullah saw juga menemui Golden Age pada tiap tahap usia bahkan ketika berusia di atas 40 tahun, golden nya berkembang eksponen sampai akhir hayatnya.

Pada usia 0-6, golden age bukan pada aspek kognitif, tetapi pada aspek senso-motorik, aspek muscle memory, aspek imaji, aspek belajar di alam, aspek bahasa ibu. Pada usia ini kecerdasan dibentuk bukan dari leher ke atas, tetapi leher ke bawah dengan memperbanyak aktifitas dan imaji2 positif.

Pada usia 7-10 golden age juga hanya sedikit kognitif, lebih banyak aspek attitude dan sosial. Personality dan Kognitif mengalami masa emas di usia 11 tahun sampai 14 tahun dstnya.

Bila tidak tepat cara dan tujuan sesuai tahapnya, malah akan beresiko kehilangan emasnya sama sekali. Masih ingat kisah angsa bertelur emas bukan? Ketergesaan akan berakibat terpendam dan hilangya fitrah anak anak kita.

Ketahuilah, sepanjang hidup dan kehidupan kita di muka bumi adalah Golden Age, masa masa emas, apabila kita mampu menjaga dan membangitkan fitrah sesuai tahap perkembangannya lalu berujung kepada menebar rahmat dan manfaat . Mustahil Allah swt membatasi golden age hanya sebatas kecerdasan otak di usia 0 – 5 tahun.

Mari kita rancang pendidikan berbasis fitrah dan akhlak sesuai tahapan usia anak anak kita secara sungguh sungguh dan optimis, agar cahaya emasnya berpendar pendar indah sampai seluruh penjuru bumi.

Salam Pendidikan Peradaban

#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

Nikmat Mampu Berbicara dan Menjelaskan

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Speak Good or Remain Silent

Sesungguhnya kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya tak terhitung dan terhingga banyaknya. Dan termasuk salah satu nikmat agung yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah nikmat mampu berbicara. Dengan kemapuan tersebut seseorang bisa mengutarakan keinginannya, mampu menyampaikan perkataan yang benar dan mampu beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Orang yang tidak diberi nikmat mampu berbicara, jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa mengutarakan sesuatu dan memahamkan orang dengan isyarat atau dengan cara menulis, jika dia mampu menulis. Allah Ta’ala berfirman.

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, kemana saja dia suruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?” [An-Nahl : 76]

Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwasanya Allah memberikan permisalan perbandingan antara diriNya dengan berhala yang disembah. Adapula yang mengatakan bahwa Allah memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman. Imam Qurthubi menjelaskan dalam kitab Tafsirnya (IV/149), “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa penjelasan-penjelasan tersebut semuanya baik, karena telah mencakup”.

Permisalan di atas secara jelas menerangkan kekurangan seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat kapan dia membutuhkannya. Allah Ta’ala berfirman.

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ

“Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan” [Adz-Dzariyat : 23]

Allah bersumpah dengan diriNya akan pastinya kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan amal manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Allah memaparkan sebagian karuniaNya yang berupa ucapan,

Allah Ta’ala juga berfirman.

خَلَقَ الْإِنسَانَعَلَّمَهُ الْبَيَانَ

“Dia menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicara” [Ar-Rahman : 2-3]

Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan bahwa al-bayan (penjelasan) adalah berbicara. Jadi, Allah menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya.

Allah Ta’ala berfirman.

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

“Bukannkah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” [Al-Balad : 8-9]

Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, “Firman Allah : أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ (Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata), maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat. وَلِسَانًا (Dan lidah), yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara ; mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hatinya. وَشَفَتَيْنِ (Dan kedua bibirnya), yaitu dengan bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan ; juga sebagai penghias wajah dan mulutnya”.

Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang baik. Apabila digunakan untuk perkara yang jelek, maka hal itu justru akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, maka orang yang tidak diberi nikmat berbicara lebih baik keadaannya dibandingkan dengan orang yang menggunakan nikmat ini dalam perkara yang jelek.

Sumber: AlManhaj

Tipe Manusia Yang Hidupnya Selalu Menderita

Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang bahagia. Untuk itu marilah kita berbuat hal-hal yang positif agar kelak tidak menderita. Adapun tipe manusia yang hidupnya selalu menderita yaitu :

-Manusia yang mengira bahwa hidup ini selalu mulus.
-Manusia yang mengira bahwa dia akan selalu menghadapi peristiwa yang diharapkan.
-Manusia yang mengira bahwa dia akan selalu dicintai orang lain.
-Manusia yang terlalu mencintai sesuatu.
-Manusia yang tidak bergantung pada Allah SWT.

Untuk itu, jika kita ingin hidup bahagia, kita harus mempunyai kesiapan:

-Siap menjalani hidup yang berliku-liku, penuh hambatan dan gangguan.
-Siap menjalani peristiwa yang tidak diharapkan.
-Siap dibenci orang.
-Siap untuk tidak terlalu mencintai benda atau manusia lainnya.
-Siap menggantungkan semua hanya pada Allah SWT saja. [muslim]